…apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam,
kritik dilarang, dianggap subversif, dan mengganggu keamanan,
maka hanya ada satu kata: lawan!
- Wiji Tukul
APA mungkin tokoh yang pernah dianggap “musuh bersama” kemudian didaulat jadi “pahlawan” semua orang. Inilah gara-gara dari sebuah negeri yang masih belajar menghargai para pemenang sejarah.
Alkisah saat detik-detik krusial runtuhnya kekuasaan Orde Baru, medio Mei 1998. Gus Dur dan kawan-kawan membentuk delegasi untuk sowan kepada Presiden (saat itu) Soeharto. Di dalam delegasi itu ikutlah penyair ternama dari Yogya, Emha Ainun Najib. Usai sowan, Emha berkomentar di hadapan pers. Katanya, dia turut membujuk Bapak Pembangunan itu untuk turun tampuk.
“Tidak jadi presiden juga tidak mati, kalau mati jadi pahlawan,” begitulah kira-kira pernyataan budayawan yang dijuluki Kiai Kanjeng.
Belakangan, ekspektasi dari masa gelap pada dua belas tahun silam itu bergulir bak bola salju yang kian besar menggelinding jadi wacana kontroversial dalam aras kenegaraan, Oktober 2010. Era yang kini disebut PascaReformasi.
Menyusul wacana tersebut, sikap penolakan keras segera riuh tersebar. Front Aksi Mahasiswa (FAM) Universitas Indonesia (UI) menolak rencana tersebut lantaran Soeharto adalah penjahat HAM. Perilaku kekuasaan selama 32 tahun Orde Baru di bawah rezim Soeharto merupakan kejahatan, kata Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti.
Demi mengejar kebenaran premis itu, jaringan aktivis masa 98 kini bergerak lagi. Diskursus untuk mempahlawankan Soeharto dibalas dengan wacana tandingan: uji material ke Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang No 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Dari timur pulau Jawa, Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur melalui pernyataan Aan Anshori, Kordinator Presidium JIAD Jatim, meminta agar pemberian gelar pahlawan dilakukan dengan selektif tidak asal-asalan. Hanya saja tidak jelas permintaan mereka ditujukan kepada siapa.
Kalau suka dengan klaim bahwa sejarah dikuasai oleh para pemenang, pemberian gelar pahlawan harus melalui serangkaian proses uji mutu. Apa yang dilakukan Orde Baru selama 32 tahun? Terjadikah selama itu perubahan dan kebaikan ketika rezim yang monoton bertahta di atas singgasana republik ini? Indikator kontrol lainnya boleh sama-sama direka-reka kita semua nanti.
Gelar patriot kepada seorang tokoh bagi generasi berikutnya akan kelihatan layaknya sebuah halaman dalam buku sejarah. Bila tampak terlalu banyak kotoran serta bercak-bercak darah tak berperi kemanusiaan di sana, penobatan “bene meritus de patria” (orang yang berjasa bagi Tanah Air) perlu dipertanyakan dalam tanda seru yang tak terkira banyaknya.
Jadi, Soeharto pahlawan atau bukan? Ia pernah jadi sosok persona-non-grata (tokoh yang tidak disukai) bagi khalayak, 12 tahun lalu. Dan hari ini apa ada yang masih mau mengulang masa kelam yang seram, sekejam 32 tahun itukah?
0 comments:
Post a Comment