KEMARIN, tak ada kudeta. Bila dikonversikan, masa satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berduet dengan wakilnya, Boediono, jatuh tepat tanggal 20 Oktober 2010. Itu berarti sudah terhitung 12 bulan atau 52 minggu atau 365 hari atau 525.600 menit atau setara 31.536.000 detik.
SBY-Boedi pasti mengerti benar. Bahwa posisi mereka hanya memegang tampuk lembaga eksekutif saja. Keduanya, menurut hirarki pemerintahan dalam teori ala Baron de La Brède et de Montesquieu yang kini dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap menjabat Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu 2009 lalu.
Sementara aksi 20 Oktober dimotori mahasiswa Indonesia telah bergerak dalam beberapa kota penting dalam peta Nusantara. Media massa pun ramai memberitakan pelbagai kejadian yang tertulis dalam catatan bersejarah, kemarin.
Setelah imbauan dari Markas Besar Kepolisian sehari sebelumnya, pascademonstasi hari ini, triumvirat kekuasaan belum tampak banyak merespons tuntutan para demonstrans yang bersuara keras dalam aksi massa. Kesan lamban belum terganti cekatan.
Setiap tuntutan ada massa, ada juga masa untuk menjawabnya. Barangkali kadang-kadang ada pula massa untuk membalasnya dengan aksi tandingan. Atau bahkan menungganginya, hingga terjadi anarki massa. Waktu; akhirnya jadi tekanan kata terpenting dalam konteks kalimat interogatif yang dibunyikan sebagai retorika dalam orasi sebuah parlemen jalanan.
Massa aksi (bedakan dengan aksi massa, kata Tan Malaka) dari pusat-pusat kota melantangkan teriak SBY-Boedi gagal mencapai banyak item kesuksesan memerintah rakyat di negeri ini. Untuk berhasil, duet pemimpin itu harus memenuhi janji-janji selama kampanye, yang secara ironis pelbagai indikatornya belum terpenuhi selama ini.
Belum lagi timbulnya gejala potensial patahnya kewibawaan eksekutif karena terlanda beberapa kasus raksasa yang sedang diasah pedang keadilan di ranah judikatif. Sementara itu, beberapa pihak menganggap cukup setahun saja waktu evaluasi dari batas waktu lima tahun untuk satu periode pucuk eksekutif itu bertahan.
Kalau diandaikan satu upacara, periode kedua kalinya jabatan bagi SBY menjadi masa ketika banyak orang seperti tak sabar menunggu perintah komandan membubarkan barisan. Setelah dimulai lewat pernyataan, “Upacara siap dilaksanakan!” pada kurun pertama 2004-2009, inspektur upacara yang tetap itu juga orangnya memberi perintah, “Laksanakan!” setelah itu “Lanjutkan!”
Di satu pihak, mungkin ada yang merasa kurang senang juga karena masuk ke dalam barisan yang hendak dibubarkan. Di pihak lain, enaknya jadi bagian yang membubarkan. Kita harus tahu, masih perlukah mengikuti upacara untuk menertibkan kekuasaan yang sudah ricuh sejak awalnya?
Saturday, 30 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment