Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 merupakan kesepakatan para pemuda yang berasal dari berbagai etnik/golongan untuk bersatu di bawah panji-panji Indonesia.
Termasuk di antaranya Jong Ambon yang dipimpin Johannes Leimena. Nama pemuda Ambon ini juga tercatat sebagai panitia Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda. Lahir di Ambon 6 Maret 1905, ia pindah ke Jakarta tahun 1914 dan menumpang di rumah pamannya. Sejak sekolah sampai perguruan tinggi ia sudah aktif dalam organisasi siswa/mahasiswa Kristen. Sebagai salah seorang pendiri Parkindo (Partai Kristen Indonesia) tahun 1945 dan menjadi ketua umumnya pada 1950–1959, J Leimena termasuk tokoh yang paling sering menjabat sebagai menteri.
Sebanyak 18 kali selama 20 tahun (sejak 1946 sampai dengan 1966), Leimena 8 kali menjadi Menteri Kesehatan dan 2 kali menjadi Menteri Muda Kesehatan. Karena itu ada pemeo,“siapa pun yang jadi perdana menteri, pasti Leimena jadi menterinya.” Pada era Orde Baru, ia menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1973. Ia meninggal di Jakarta tahun 1977. Leimena juga pernah menjadi pejabat presiden sebanyak 7 kali. Meskipun ada Subandrio dan Chairul Saleh yang juga menjadi waperdam (wakil perdana menteri), Leimena yang lebih sering dipilih Bung Karno.
Coba bayangkan seandainya Presiden Soekarno berhalangan, misalnya meninggal di luar negeri tatkala melakukan kunjungan kenegaraan, maka otomatis Leimena yang menjadi presiden sampai berlangsungnya pemilihan umum selanjutnya. Berarti seorang yang beragama Kristen akan menjadi pemimpin tertinggi di negara yang mayoritas beragama Islam. Presiden Soekarno memilih Leimena karena ia dianggap sebagai pemimpin yang tegas, tetapi bersikap tenang. Tanggal 1 Oktober 1965 malam di pangkalan udara Halim Perdanakusumah, Leimena menyarankan kepada Bung Karno agar berangkat ke Istana Bogor karena tempat itu relatif dekat dari Jakarta.
Tatkala terjadi kericuhan karena istana dikepung oleh tentara tak dikenal (sebetulnya pasukan Kostrad yang dipimpin Kemal Idris) tanggal 11 Maret 1966, maka Bung Karno pergi ke Bogor. Waperdam Subandrio mengikuti sang Presiden secara tergopoh-gopoh sehingga sepatunya ketinggalan. Namun Leimena tetap memimpin sidang kabinet walau tidak lama. Kalau berbicara Leimena tidak menggebu-gebu, tenang seperti pendeta sehingga kadang-kadang ia dipanggil Bung Karno sebagai dominee. Zaman pendudukan Jepang, Leimena memimpin Rumah Sakit Tangerang dan setelah kemerdekaan diangkat menjadi menteri muda kesehatan.
Sebelum ia menjadi menteri, masyarakat sudah mengenal “salep Leimena”, yakni krem mujarab untuk mengobati penyakit kulit yang ringan. Berdasarkan pengalaman bekerja di rumah sakit Immanuel Bandung, Dr Leimena membuat pusat percontohan yang disebut Bandung Plan. Rencana Bandung ini yang kemudian disebarluaskan ke berbagai daerah di Indonesia tahun 1954–1960 dengan nama “Rencana Leimena” (dengan dua prinsip, penggabungan upaya preventif dan kuratif, serta perimbangan kegiatan perdesaan dan perkotaan). Karena keterbatasan dana, program ini tidak bisa menyentuh seluruh Indonesia. Tahun pertama, kabupaten yang terpilih akan mendapat pusat kesehatan di suatu kecamatannya.
Setiap dua tahun sekali ditambah dengan satu lagi pusat kesehatan di kecamatan lain. Di ibu kota kabupaten akan dibangun rumah sakit pembantu dan lima tahun kemudian ditambah satu lagi. Rencana Leimena ini yang kemudian menjadi cikal bakal puskesmas pada masa Orde Baru. Dalam keadaan bagaimanapun ia tetap memperhatikan kesehatan orang lain. Ruslan Abdulgani menuturkan pengalamannya bahwa Minggu sore 19 Desember 1948, ia terluka parah dekat Jembatan Code, Yogyakarta, oleh mitraliur Belanda dan diangkut dengan dokar menuju rumah sakit Bethesda. Ia berpapasan dengan Leimena dan serombongan perawat yang rupanya juga ditawan serdadu Belanda.
Melihat Ruslan, Jo Leimena berteriak, “Ruslan, ben je gewond? Gauw tetanus halen.” Artinya “Ruslan, kamu luka-luka? Lekas ambil tetanus.” Leimena dibentak oleh tentara Belanda. Ruslan tidak paham, tetapi di rumah sakit ia disuntik antitetanus oleh seorang dokter Belanda.
Tanggung Jawab Warga Negara
Leimena menganjurkan agar orang-orang Kristen menjadi warga negara yang bertanggung jawab, menjadi “garam” dan “terang dunia”. Dalam makalahnya “Kewarganegaraan yang bertanggung jawab”(1955), Leimena mengutip pendapat Evanston yang mengatakan, “Masyarakat yang bertanggung jawab ialah masyarakat di mana kemerdekaan adalah kemerdekaan dari orang-orang yang mengakui bertanggung jawab kepada keadilan dan ketertiban umum dan di mana mereka yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan itu kepada Tuhan dan kepada rakyat.” Mengenai pluralisme, Leimena berpandangan Bhinneka Tunggal Ika itu hanya bisa berlaku sempurna bila “Bhinneka” diperkuat oleh “Ika”.
Sebaliknya “Ika” itu hanya dapat tetap “Ika” kalau “Bhinneka” diperhatikan, dikembangkan, dan dipentingkan. Pendeknya harus ada imbangan yang sehat antara “Bhinneka” dengan “Ika”. Soal masalah kedaerahan yang ekstrem seperti RMS (Republik Maluku Selatan) menurut Leimena timbul karena kesalahpahaman mengenai hubungan bangsa-suku bangsa dan suku bangsa-agama. Leimena tidak menganut paham sempit kedaerahan. Suatu ketika ia berbincang dengan Presiden Soekarno tentang pembangunan Jakarta yang menurutnya harus dipimpin oleh seorang yang cerdas, berani, dan tegas. Ketika ditanya Bung Karno, siapa orang yang tepat, Leimena menyebut nama Ali Sadikin yang waktu itu sudah menjadi anggota kabinet.
Tidak ada unsur KKN di situ, kata Ali Sadikin. Walaupun bukan seorang Ambon atau seorang penganut agama Protestan, Leimena menilai perwira marinir itu cocok untuk membangun Ibu Kota negara. Di dalam biografi Leimena yang ditulis RZ Leirissa tergambar karakter tokoh asal Maluku ini, yakni memiliki rasa setia kawan, memberi perhatian terhadap bawahan, luwes tetapi tegas, akrab dalam pergaulan, dan hidup sederhana. Ia berasal dari lingkungan keluarga guru yang berdisiplin dan taat beragama. Perhatiannya besar terhadap pemikiran teosofi yang menekankan humanisme universal.
“Politik bukan alat kekuasaan, melainkan etika untuk melayani,” ujar Leimena yang tahun ini dicalonkan sebagai pahlawan nasional. Para pemimpin kita di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif dapat belajar banyak mengenai etika dari para pendiri republik ini. Tidak usah jauh-jauh ke Yunani.(
Saturday, 30 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment