BENCANA alam sepertinya akrab dengan Indonesia. Sejak 2004, kehidupan di Bumi Pertiwi selalui diwarnai bercana. Tsunami, gempa bumi, banjir bandang, dan tanah longsor misalnya. Belum lagi kecelakaan yang dialami moda angkutan darat, laut dan udara.
Ratusan ribu nyawa melayang sia-sia dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Sebagian besar bencana karena kelalaian manusia. Negara pun harus mengucurkan dana trilunan rupiah untuk rehabilitasi infrastruktur dan pengobatan.
Paling dekat adalah gempa bumi disertai tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, serta meletusnya Gunung Merapi yang terletak di Yogyakarta/Jawa Tengah. Dua bencana ini menelan korban lebih dari 400 jiwa. Di Mentawai bahkan sekira 411 jiwa belum ditemukan.
Memang semua bencana atas seizin Tuhan. Tapi sebagian besar bencana yang terjadi di Tanah Air merupakan kelalaian mendasar manusia. Memperkaya diri dengan mengeksploitasi kekayaan alam secara sporadis menjadi salah satu pemicunya. Ketamakan akan membuat kehancuran di satu negeri.
Bertubi-tubinya bencana alam yang menyebabkan hacurnya satu negeri disebabkan pemimpin atau penguasa yang zalim. Pemimpin yang tidak amanah atau melanggar sumpah jabatan. Allah sangat benci dengan pemimpin seperti ini.
Dalam ajaran Islam, saat ini sudah masuk akhir zaman, sebelum datangnya kiamat. Baginda Muhammad SAW menjulukan zaman sekarang dengan Mulkan Jabbriyyan atau para penguasa yang memaksakan kehendak.
Mengutip artiket di eramuslim.com, dalam pola kekuasaannya mereka hendak memaksakan kehendaknya seraya mengabaikan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Bila pemerintahannya bercorak totaliter, maka kehendak penguasanya bersifat individual.
Bila pemerintahannya bercorak demokratis, maka kehendak penguasanya bersifat kolektif perpaduan kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Yang manapun corak pemerintahannya, satu hal yang pasti ialah berlaku di dalamnya penghambaan manusia atas manusia lainnya. Penghambaan masyarakat kepada penguasa individual jika bercorak totaliter. Dan penghambaan masyarakat kepada penguasa kolektif bila bercorak demokratis.
Dengan kenyataan seperti ini, Indonesia tinggal menunggu kehancuran sesungguhnya. Pemimpin yang benar adalah sosok yang memimpin karena keinginan rakyatnya, bukan ambisius pribadi. Tentunya para penguasa harus menjalankan amanahnya sesuai aturan, baik hukum negara maupun agama.
Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Israa 36)
Bukan sesuatu yang mustahil bila disimpulkan setiap penguasa memiliki kemungkinan berbuat zalim. Mereka tidak akan melakukannya bila beriman kepada Allah, dan dikelilingi orang-orang yang bertaqwa. Kelompok seperti ini akan saling memberikan saran demi kebaikan dan kepentingan semua pihak.
Sebaliknya, bila penguasa dikelilingi individu yang rusak, laknat tinggal menunggu waktu. Kehancuran terjadi dan kebinasaan di depan mata. Pemimpin zalim masuk kategori golongan paling dibenci Allah SWT.
Dengan beruntunnya bencana, para penguasa di negeri ini hendaknya langsung mengevaluasi diri. Berpikir dan merenung apakah semua tugas yang dijalankannya sudah sesuai aturan undang-undang dan janji yang disampaikan saat kampanye. Para penguasa juga mulai tegas menyingkirkan para pembisik yang sesat agar segala kebijakan berlandaskan kebenaran.
Bangsa ini bisa terlepas dari berbagai bencana. Tanah dengan kekayaan alam ini masih bisa maju. Sekarang tinggal menunggu apakah para penguasa di negeri ini memiliki niat memajukan bangsa?
Saturday, 30 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment